Saturday, November 15, 2008

MR. JUDGE

Ahad (10/11) kemarin, ketiga terpidana mati kasus bom Bali I, Amrozi cs, akhirnya dieksekusi. Hampir seluruh media, baik itu cetak maupun elektronik, seharian berlomba-lomba mengabarkan berita ini. Banyak orang bernafas lega. Namun banyak juga orang yang mengecam kejadian ini. Pada akhirnya hampir setiap orang terbentur pada kesimpulan akhir yang mengecap Amrozi cs sebagai syuhada atau sebagai teroris. Bahkan MUI ikut-ikutan mengeluarkan fatwa bahwa Amrozi cs bukanlah syuhada. Sebenarnya siapa kita sehingga dapat men-judge seseorang sebagai teroris atau syuhada. Bukanlah hak kita untuk mengatakan bahwa seseorang itu baik atau jahat. Bukan apa-apa, karena setiap orang memiliki jalan pikiran masing-masing, jadi mungkin saja definisi teroris atau syuhada untuk setiap orang akan berbeda-beda. Manusia dibekali akal yang sama oleh Tuhan. Namun, dalam perkembangannya seseorang boleh memilih jalan pikirannya masing-masing. Mungkin si anu benar dengan mengatakan bahwa Amrozi cs adalah syuhada karena si anu memiliki pengetahuan yang telah sampai pada titik yang dapat meyimpulkannya demikian. Namun berbeda dengan si anu yang lain yang sangat yakin bahwa Amrozi cs adalah para teroris karena memang dasar pengetahuan yang dimilikinya mengatakan demikian. Intinya, setiap orang memiliki kesimpulan yang berbeda-beda tergantung sampai dimana tingkatan pengetahuannya. Contoh gampangnya, pengetahuan yang dimiliki seorang pejabat pemerintah sangat jauh berbeda dengan pengetahuan yang dimiliki seorang tukang ojek yang Cuma lulusan SD tentang kenaikan harga BBM. Mungkin pejabat pemerintah itu menganggap keputusan menaikkan harga BBM oleh pemerintah sudah benar demi menyelamatkan defisit negara akan tetapi dalam pikiran seorang tukang ojek tindakan tersebut dianggap salah dan menyengsarakan rakyat. Sangat susah sekali untuk mengharapkan titik temu pada kedua orang ini karena mereka telah mendasarkan pengetahuannya pada titik yang berbeda. Maka tidaklah pantas seseorang mengeluarkan statement judgement yang justru malah mengkotak-kotakkan seseorang. Kita percaya Tuhan, kan? Biarlah Tuhan yang membalas semua perbuatan mereka tanpa perlu kita beradu otot menentukan sebuah konsepsi benar dan salah.

Friday, October 31, 2008

THE TIME HAS COME!

Kemarin saya mendapat sms dari teman saya. Isinya memberitahukan kalau saya bakal ditempatkan di BPKP. Dalam hati saya cuma bisa mengucapkan syukur dan mengelus dada. Kalau nggak salah kemarin sewaktu menuliskan pilihan instansi, saya menempatkan BPKP sebagai pilihan terakhir saya setelah Departemen Keuangan dan BPK tapi kenapa malah dapat BPKP yang kepanjangannya saja baru saya tahu setelah browsing di internet, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Yang Maha Menempatkan lebih tahu yang terbaik buat kita, begitu sms dari teman saya setelah saya memberitahukan kalau saya dapat di BPKP.


Sebenarnya masih tersisa pilihan lain jika saya tidak mau/tidak ingin ditempatkan di BPKP. Pilihannya ada dua, saya menerima (dengan ikhlas) penempatan saya di BPKP atau saya memilih keluar dari BPKP dengan status ‘eksodan alumnus STAN’. Dan akhirnya saya memutuskan untuk bergabung bersama keluarga besar BPKP. Saya pikir, di zaman yang sangat susah mencari pekerjaan ini, seharusnya saya bersyukur bisa langsung kerja begitu saya lulus kuliah. Masih banyak orang di luar sana yang sedang bingung mengais pekerjaan. Padahal titel mereka lebih keren dari saya, sarjana, sedangkan saya cuma seorang lulusan diploma III.


My Dream

Banyak dari teman-teman kuliah saya yang mengatakan ingin keluar dari PNS begitu mendapatkan ‘apa yang mereka inginkan’. Kebanyakan dari mereka malah mengatakan akan keluar dari PNS apabila telah mendapatkan modal yang cukup untuk berwirausaha. Mereka merasa tidak betah hidup dengan status seorang PNS. Saya pun dulu juga begitu. Punya niatan yang sama dengan kebanyakan orang ini. Saya menganggap PNS hanyalah sebagai sebuah batu lompatan bagi saya untuk dapat hidup lebih layak. Saya menganggap PNS hanyalah sebuah mesin uang yang harus saya keruk dan saya tinggalkan begitu saya puas. Dan saya merasa sama sekali tidak bersalah. Saya berpikir dahulu saya masuk STAN adalah karena sebuah keterpaksaan karena tidak lulus SPMB. Jadi bukan salah saya kalau saya mau keluar dari PNS empat atau lima tahun kemudian. Toh dari awal saya juga tidak ingin masuk STAN. Namun, akhir-akhir ini saya jadi berpikir, ‘Memangnya kenapa dengan PNS? Saya rasa tidak ada salahnya menjadi seorang PNS. Walaupun gajinya segitu-gitu aja tapi saya bisa bekerja sekaligus mengabdi kepada negara dan menjadi abdi masyarakat. Ditambah lagi saya dapat kuliah gratis adalah karena dibiayai oleh rakyat. Jadi mengapa saya tidak ingin membalas budi baik mereka? Setidaknya sampai 10 tahun ke depan ketika masa ikatan dinas saya berakhir. Dan sekarang itulah mimpi saya, menjadi seorang pelayan masyarakat untuk setidaknya sampai 10 tahun yang akan datang. Tidak muluk-muluk. Tapi gimana ya kalau saya mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi? Masa ikatan dinas saya juga bertambah dong! Yah… jadi tambah lama deh keluar dari PNS… T_T

Wednesday, October 1, 2008

Catatan Tentang Orang Mati

Hari ini kita banyak melihat orang mati. Di televisi kita melihat orang mati karena mengantri pembagian zakat. Di koran kita membaca orang mati karena mudik lebaran. Di lingkungan tempat tinggal kita, tetangga kita mati karena nelen biji rambutan. Intinya, sebenarnya kita acapkali mendengar atau melihat orang-orang mati di sekitar kita. Jujur, saya –sebagai orang yang pernah ditinggal mati orang yang saya cintai- sangat takut apabila mendengar kata kematian. Saya jadi teringat kembali peristiwa lampau 12 tahun silam. Ketika ayah saya pergi untuk selama-lamanya meninggalkan 1 istri dan 4 anak. Almarhum meninggal karena serangan stroke pada bagian tubuh sebelah kirinya. Akan tetapi, saya tidak pernah bisa mengingat bagaimana ayah saya mati saat itu padahal saya berada di samping beliau waktu itu, sampai saat ini. Mungkin juga karena waktu itu saya masih kelas 4 SD. Yang saya ingat adalah tiba-tiba para handai taulan berdatangan ke rumah saya. Waktu itu banyak sekali yang datang. Rumah orangtua saya yang mungil di bilangan Depok penuh sesak menampung para pelayat yang terus berdatangan dari pagi hingga petang. Waktu itu belum sempat terpikirkan oleh saya bagaimana jika yang mati itu adalah saya. Baru akhir-akhir ini, pikiran itu terus mengiang-ngiang di kepala saya, menghantui saya. Akankah ketika saya mati akan banyak orang yang melayat saya seperti ketika ayah saya meninggal dunia? Akan banyakkah orang yang menangisi kepergian saya suatu hari dari dunia fana ini selama-lamanya? Adakah orang yang akan mengusung jenazah saya dan mengantarkan saya sampai peristirahatan terakhir? Bagaimana kalau tidak ada seorang pun yang bersedia? Bagaimana kalau tidak pernah ada seorang pun yang menghadiri pemakaman saya selain keluarga saya? Itu pun jika mereka tidak mendahului saya mati. Bagaimana jika tidak pernah ada orang yang menangisi kematian saya bahkan mereka malah bersuka cita karena kepergian saya? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu yang kerap kali bermunculan dalam kepala saya akhir-akhir ini. Maka kemudian saya jadi takut mati. Maka kemudian saya berniat mencari teman di dunia sebanyak-banyaknya sebelum saya mati. Agar mereka bisa menangisi kepergian saya. Setidaknya untuk hadir di pemakaman saya. Menurut saya betapa memalukan jika tidak ada seorang pun yang hadir dalam pemakaman seseorang. Atau sangat sedikit orang yang datang. Saya berpikir bahwa nilai seorang manusia baru bisa diukur manakala ia telah meninggal dunia. Caranya, ya dengan itu tadi. Dengan menghitung berapa banyak orang yang datang melayat saya. Berapa banyak orang yang menangisi kepergian saya –bukan menangis karena hutangnya belum dibayar-. Berapa banyak orang yang mengusung jenazah saya sampai ke tempat peristirahatan terakhir saya. Jadi saya mengukur seseorang dengan kuantitas. Tapi ternyata saya melupakan kualitas. Bahwa apabila seorang koruptor mati tak mungkin dilayat oleh petugas KPK yang menangkapnya. Atau pemakamannya tak mungkin dihadiri oleh rakyat yang dibuat sengsara oleh tindakannya. Anda mengerti maksud saya, kan?

Intinya adalah seseorang tak mungkin berharap akan didatangi banyak orang pada saat kematiannya manakala ia hanya meninggalkan catatan kriminal saat di dunia –kalaupun datang, paling cuma untuk bilang, “Mampus lo..!”-. Saya tertegun sendiri ketika pada suatu saat di tahun 2005 melihat ada orang mati yang begitu banyak dihadiri oleh para pelayat. Tidak hanya dari kalangan keluarganya saja tetapi bahkan orang-orang yang tidak pernah bersua dengannya turut hadir dalam upacara pemakamannya. Mereka –para pelayat itu- seperti air bah yang datang bergelombang. Tak pernah ada habisnya. Bahkan sampai keesokan harinya orang-orang masih banyak yang berdatangan membanjiri (bekas) rumahnya di bilangan Pondok Gede. Ya, saya membicarakan salah seorang sosok yang saya kagumi, KH. Rahmat Abdullah. Waktu itu saya terus bertanya dalam hati, “Koq bisa ya? Koq bisa? Koq bisa sih?”. Apa yang membuat almarhum (semoga Allah meridhoinya) bagai sebuah magnet yang menarik banyak orang untuk hadir dalam upacara kematiannya bahkan yang tidak pernah bersua dengan beliau sekali pun. Kira-kira amalan apa yang beliau lakukan selama hidupnya di dunia? Sekarang saya menjadi migrain karena pusing memikirkan jawabannya. Kalau saya melihat dari film tentang beliau (Sang Murrabbi, pen), Ust. Rahmat (begitu biasa dipanggil) dicitrakan sebagai sosok bersahaja, alim, dan memegang teguh prinsip-prinsip agama. Akan tetapi yang membuat saya terperangah adalah bahwa setiap kali Ust. Rahmat berpas-pasan dengan seseorang –bahkan yang tidak beliau kenal- beliau selalu mengucapkan salam kepada orang itu. Dan yang paling membuat saya tertampar adalah manakala beliau hafal nama-nama orang yang diajaknya bicara (termasuk anak kecil). Tidak cukup sampai disitu, bahkan beliau mengetahui siapa keluarganya, kesukaanya apa, cita-citanya apa, dsb. dst. (padahal beliau tidak pernah berkenalan secara langsung). Mungkin ini dia. Inilah yang membuat sosok KH. Rahmat Abdullah begitu dikagumi banyak orang. Sehingga ketika beliau wafat, banyak orang menangisi kepergiannya bahkan langit pun seakan tidak rela melepas kepergiannya. Lantas bagaimana dengan saya? Kira-kira amalan apa yang sudah saya berikan untuk dunia sehingga orang-orang kelak mengenal saya sebagai orang baik-baik ketika saya mati? Rasanya tidak ada, maaf, saya ralat, belum ada. Namun, saya percaya, selama nyawa masih menyatu dengan raga dan jiwa belum dipanggil Sang Maha Kuasa maka masih terbuka kesempatan selebar-lebarnya buat saya, buat kita, untuk melakukan amal baik sebanyak-banyaknya. Agar nanti ketika mati banyak yang menangisi. Atau setidaknya, agar Tuhan meridhoi. Yang penting ikhlas. Itu kuncinya. Berbicara tentang ikhlas, membuat migrain saya menjadi kuadrat.

Syawal 1429H

Sunday, September 28, 2008

MY ADVENTURE (PART 2/END)


Gw nggak bisa tidur! Barang memejamkan mata semenit pun gw nggak bisa. Abisnya disini dingin buangget. Padahal gw udah make baju berlapis-lapis –yang membuat gw mirip bolu gulung- supaya nggak kedinginan. Eh, ternyata nggak mempan juga. Padahal tuh balsem copal udah abis setengah buat diolesin ke badan gw doang. Tapi tetep aja kedinginan. Ini nih, pasti gara-gara kita nggak pake tenda semalaman. Jadinya bener-bener tidur beralaskan bumi, beratapkan langit, bertaburkan bintang-bintang. Nyesel deh gw ikut rombongan sirkus ini. Tapi pas gw liat temen-temen gw, busyeeet… mereka tidur nyenyak banget. Kayak bukan lagi tidur di gunung. Emang kulit mereka terbuat dari apa sih? Jangan-jangan terbuat dari kulit badak lagi. Penasaran, gw coba-coba pegang kulit temen-temen gw. Pas gw mau pegang, eh ternyata si empunya bangun. Waktu liat gw –yang mirip roti gulung- apalagi dengan posisi siap grepe-grepe, dia langsung teriak, “Eh, mau ngapain loe?!”. Salah tingkah, gw ngeles kalo tadi tuh ada binatang di badannya, jadi mau gw ambil dan gw basmi. Untungnya dia he-eh aja, malah bilang terima kasih. Untuk mengalihkan pembicaraan, gw nanya jam ke dia. Ternyata udah jam 5 lewat. Udah masuk waktunya sholat shubuh.

“Eh, udah shubuh nih, mau sholat berjama’ah nggak?”, gw nanya ke dia.

“Iyalah. Yuk, bangunin yang lain!”

Gw pun beranjak membangunkan temen-temen gw. Tapi pas liat muka temen-temen gw itu yang tidur pulas banget, dalam hati gw ada niat busuk buat bangunin mereka dengan cara-cara yang sadis. Gw sebenernya dengki sama mereka yang bisa tidur kayak kebo gitu. Tapi karena gw baik hati dan tidak sombong, gw bangunin mereka dengan cara-cara yang lebih manusiawi, yaitu gw gelitikin kupingnya pake ilalang : p

Setelah melaksanakan sholat shubuh berjama’ah di tengah-tengah cuaca yang (masih) dingin, kita duduk-duduk sambil menunggu datangnya fajar. Paling enak kalo kayak gini makan pisang goreng yang masih anget sama minum kopi susu yang panas. Tapi kenyataannya adalah kita cuma bisa sarapan pagi pake roti tawar yang udah kayak batu saking kerasnya sama minum es tawar (sebenarnya pas kita beli cuma roti tawar biasa sama air mineral biasa tapi karena suhunya disini dingin banget maka jadinya kayak abis dimasukkin ke dalam freezer). Lagi enak-enaknya makan –lebih tepatnya dengan sangat terpaksa makan- sambil ngobrol, tiba-tiba kabut turun. Jumpalitan kita berusaha melindungi diri dari serangan kabut yang mendadak. Rasanya kayak lw abis dimasukkin freezer selama ½ jam dengan suhu maksimal. Bener-bener dahsyat dinginnya. Akhirnya, tuh kabut ilang entah kemana. Fajar pun merekah. Bersama-sama kita menyaksikkan sunrise (bukan merk sabun pencuci piring! Eh… itu sunlight ya?) di atas gunung. Subhanallah, so beautiful. Keren banget. Tanpa membuang-buang waktu, kita langsung foto-foto. Setelah puas foto-foto (berjam-jam sampe mataharinya udah di atas kepala kita) kita pun berniat turun. Pas lihat sekitar, ya ampuuuuuuun…. ternyata puncaknya masih jauh di atas lagi. Ternyata kita baru nyampe ½ perjalanan lebih dikit ke puncak. Dengan semangat 45 dan nafsu yang membara, kita berniat menunaikan misi kita yang belum kesmapaian yaitu menaklukan puncak Merbabu. Tapi setelah 2 jam berlalu, kita belum nyampe-nyampe juga. Semangat yang tadinya meluber kemana-kemana akhirnya menguap. Nafas udah mulai ngos-ngosan. Rasa capek yang belum habis dari kemarin sekarang mesti ditambah dengan pegel-pegel yang sekarang. Apalagi hari juga udah semakin siang. Dengan pasrah –dan dengan sangat-sangat terpaksa- kita mutusin untuk turun gunung karena mau ngejar kereta ke Jakarta. Tapi pas mau turun gunung, kita bingung (lagi) kemana arah pulang. Untung ada penduduk sekitar yang kasih tau jalan. Pada awalnya kita berada pada jalur pulang yang benar sesuai dengan instruksi yang diberikan penduduk tadi tapi setelah beberapa jam, kita sadar kalo sebenarnya kita nyasar! (lagi..)

Karena kita semua memiliki tekad yang kuat untuk sampai di bawah dengan selamat (sebenarnya sih bukan tekad tapi nekad), kita memutuskan untuk merentas jalan, membuat jalur pulang sendiri. Itu artinya, kita mesti membuka jalan baru, lewat semak-semak belukar, ngadepin medan yang berat banget, dsb. dsb. yang pokoknya gokil abis. Tapi menurut gw, semuanya seru (yahh.. walaupun badan baret-baret dikit karena luka-luka perjalanan). Ini merupakan pengalaman hiking pertama gw yang nggak bakalan gw lupain seumur hidup.

Alhamdulillah, dengan kuasa yang Di Atas, akhirnya kita sampe di basecamp. Karena laper, kita makan dulu disitu. Makanan kampung tapi enak banget. Menunya, nasi panas pake tempe penyet sama telur ceplok. Ditambah lagi sambel yang pedesnya nampol banget. Gw sama temen-temen makan dengan lahapnya (mungkin karena kita emang bener-bener kelaparan). Setelah itu kita pamit sama si empunya rumah. Tak lupa kita juga mengembalikan golok yang kemaren dipinjam (tapi kita nggak bilang-bilang kalo goloknya udah kita rusakkin…).

Dengan menumpang mobil yang lewat kita nyampe di jalan utama. Dari situ kita menyetop bus yang ke arah terminal Boyolali. Sampe di terminal waktu udah menunjukkan pukul ½ 3 siang. Kita mandi dulu di situ dan melaksanakan sholat dzuhur dan ashar. Karena waktunya udah nggak memungkinkan untuk mengejar kereta yang ke Jakarta, kita memutuskan untuk naik bis aja. Tapi ternyata, pas kita nyampe terminal (yang gw lupa namanya), waktu udah lewat maghrib, dan bis terakhir ke Jakarta baru aja jalan. Dengan perasaan yang masih shock karena harapan pulang ke Jakarta malam ini pupus, kita melaksanakan sholat maghrib dan isya serta makan malam di terminal. Kita makan dalam keadaan diam. Masing-masing sibuk berpikir dalam otaknya masing-masing. Kita lagi kebingungan mau bermalam dimana. Masak mau nginep di terminal. Tiba-tiba gw kepikiran saudara gw yang tinggal di Jogja. Gw mengusulkan supaya kita coba bermalam disana. Semua setuju. Tapi gw lupa jalan kesananya. Yang gw inget cuma naman desanya, desa Randugowang, kecamatan Ngaglik, Sleman. Udah. Pengen naik taksi, trauma diboongin lagi. Salah satu temen gw mutusin untuk ke Malioboro aja, kebetulan kemaren kan kita belum sempet ngeliat pas lagi ramainya. Apalagi sekarang malam minggu. Dari situ nanti gw coba hubungi saudara gw yang di Jogja itu. Akhirnya kita semua kesana naik bis Trans Jogja. Di Malioboro ramai banget. Kita cuma bisa nelen ludah waktu ngeliat warung-warung makan lesehan yang berlomba-lomba menebarkan selera. Uang di kantong kita masing-masing cuma cukup untuk ongkos pulang aja. Kita duduk di bangku yang kemaren pagi kita dudukin pas pertama kali nyampe sini. Gw coba menghubungi nomor saudara gw. Tapi gw coba berkali-kali, ternyata nomornya nggak aktif. Sialnya cuma itu satu-satunya nomor saudara gw di Jogja yang gw punya. Gw coba menghubungi keluarga gw yang di Jakarta untuk nanya nomor saudara di Jogja yang laen tapi ternyata semuanya nggak aktif. Pasrah, kita berniat nginep di Malioboro. Untungnya, temen gw punya temen yang tinggal di Prambanan. Dia anak STAN juga (kenapa nggak bilang dari tadi sih?!). SMS pun terkirim. Kemudian beberapa saat setelah itu, SMS diterima. Rasanya gw pengen sujud syukur waktu baca isi sms dari temennya temen gw itu. Dia bersedia menampung kita di rumahnya (semoga Allah swt. membalas kebaikannya, amin). Dari situ kita langsung cabut ke Prambanan. Sebenernya, kita bisa langsung ke Prambanan dengan naik bis Trans Jogja yang ada di Malioboro. Tapi karena udah jam 10 malem udah nggak ada lagi yang beroperasi. Kita mutusin untuk naik taksi. Kali ini kita nggak sok tau untuk nembak harga kayak kemaren dulu. Kita sekarang pake tarif karena kita emang nggak tau seberapa jauh jarak dari Malioboro ke Prambanan. Apesnya, -mungkin juga karena kita adalah mangsa pertama si supir taksi- kita diajak muter-muter. Sampe Prambanan kena 60 ribu. Padahal kalo naek busway cuma 4 ribu/orang. Turun dari taksi kita cuma bisa mengelus dada dan mengelus dompet yang semakin tipis karena berkurang untuk ongkos taksi. Dasar manusia…

Kita sempet nunggu selama ½ jam di depan pintu masuk candi Prambanan, sebelum akhirnya temennya temen gw itu (yang ternyata bernama Nawa) datang dengan membawa motor. Nyampe di rumah Nawa, kita disambut dengan ramah oleh bapak-ibunya Nawa. Setelah ngobrol-ngobrol sebentar, kita dipersilakan untuk istirahat. Bagai pucuk ulam pun tiba, dengan senang hati kita menyambut tawaran ini. Begitu ngeliat kasur empuk, gw langsung tertidur. Malam itu (akhirnya) gw bisa tidur dengan nikmat…

Baru besok paginya kita lanjutin ngobrol-ngobrol bareng keluarganya Nawa sambil sarapan pagi. Kita mengutarakan niat kita untuk pulang ke Jakarta hari itu naik kereta ekonomi. Dasar emang rezeki, kebetulan tetangganya Nawa ada yang mau ke Jakarta juga. Mau mengantar buku-buku les. Kita ditawari untuk bareng sama mereka naik mobil. Tentu saja, tanpa malu-malu, kita mengiyakan tawaran tersebut. Tapi mereka katanya berangkat ke Jakartanya malam hari. Maka untuk mengisi waktu, kita jalan-jalan ke Prambanan. Ini bener-bener perjalanan yang nggak pernah direncanakan tapi pada akhirnya berakhir dengan indah. Kita emang telat pulang satu hari ke Jakarta tapi kita sekarang bisa mengunjungi candi Prambanan, bisa ketemu sama keluarga Nawa, bisa kenalan dengan tetangganya Nawa adalah bukti bahwa Tuhan menyimpan skenario yang indah untuk kita pada akhirnya.

Hari sudah semakin larut. Kita udah siap cabut dengan barang-barang bawaan kita. Janjinya, kita bakalan ketemuan di Klaten (karena orang yang mau ke Jakarta itu memang tinggal disana). Setelah pamit dan mengucapkan terima kasih berulang kali sama bapaknya Nawa (si Nawa sama ibunya lagi pergi ke tempak neneknya Nawa), kita akhirnya berangkat ke Klaten. Disana kita udah ditunggu sama tetangganya Nawa itu. Karena berangkatnya masih beberapa jam lagi, kita memutuskan untuk makan dulu di warung lesehan deket situ. Setelah kenyang, kita balik lagi ke rumah tetangganya Nawa tersebut.

Waktu berangkat pun tiba. Kita semua ke mobil tetangganya nawa. Agak shock juga waktu ngeliat mobil yang kita naiki ternyata dipenuhi tempelan sponsor bimbel yang membuat mobilnya keliatan mencolok banget kalo diliat dari luar. Tapi kita nggak mau berkomentar apa-apa. Yang ada di kepala kita adalah nyampe di kosan dengan selamat. Titik. Kemudian ditemani hujan yang rintik-rintik, mobil yang kita tumpangi melesat menembus malam. Nggak banyak yang kita lakukan dan saling kita obrolkan. Selain karena space mobil yang emang udah penuh dengan buku-buku les, tetangganya Nawa juga membawa adiknya sebagai teman ngobrol. Lagipula mereka ngobrol pake bahasa Jawa, mana kita ngerti. Dan ternyata mobil nggak langsung menuju Jakarta sodara-sodara! tapi ke Semarang dulu untuk mengambil barang. Tau nggak barang itu apa? Tanaman gelombang cinta. Yes, anteridium….

Setelah 13 jam di dalam mobil, kita nyampe di luar tol Bekasi. Kita turun disitu. Setelah mengucapkan terima kasih banyak-banyak, kita naik bis AC ke Lebak Bulus. Dari situ kita nyambung angkot C09 ke kampus. Di angkot, kita kebanyakan tidur. Di dalam kepala gw, udah kebayang kamar kosan gw, wangi ruangannya, kasurnya, bantalnya…. Gw juga kangen sama orang-orang rumah. Nyokap gw, kakak-kakak gw, saudara-saudara gw, temen-temen gw. Ah…

Nyampe dengan selamat (alhamdulillah) pukul 12 siang. Gw langsung merebahkan diri ke kasur dan tidur. Ketiduran sampe jam ½ 2. Begitu bangun gw langsung migrain waktu ngeluarin baju-baju kotor dari carrier gw. Ya ampun, gw masih harus nyuci segini banyaknya! (My Adventure/Tamat)

Friday, August 8, 2008

STAN, Dalam Kacamata (Kuda) Saya

Juli-Agustus ini, ada event akbar di Jakarta yang bikin geger seantero Indonesia. Dan mungkin pula, event ini sangat dinanti berjuta-juta manusia yang memimpikannya. Tapi bukan Indonesian Idol. Memang sih, sama-sama bekennya. Tapi bukan itu yang saya maksud. Yang saya maksud adalah Ujian Saringan Masuk (USM) STAN. Lho, kok bisa?! Ya, iyalah bisa. Coba kita lihat data statistik pendaftaran USM tahun kemarin. Mencapai lebih dari 100 ribuan pendaftar. Angka yang sangat fantastis, bukan? Bahkan MURI menobatkan STAN sebagai PTK terfavorit saat itu.


Lalu, mengapa STAN bisa kebanjiran pendaftar dibanding PTK-PTK lain yang tersebar di Indonesia? Ini pertanyaan menarik. Maka saya mencoba menelusurinya. Sebagian besar mahasiswa atau alumni yang saya tanya menjawab dengan jawaban yang hampir senada. ‘STAN itu enak, mas. Udah kuliah gratis, abis lulus ga usah pusing cari kerja!’ Kalau dipikir-pikir, benar juga, sih. Saya jadi ingat pertama kali saya memutuskan untuk kuliah di kampus Jurangmangu ini. Sedikit membuka aib, sebenarnya saya kuliah di STAN bukan karena alasan-alasan di atas. Bahkan, saya tidak tahu STAN itu sekolah apa dan dimana letaknya. Saya cuma ikut-ikutan saja waktu itu. Waktu itu saya berpikir, gimana kalau saya tidak lulus SPMB. Mau kuliah dimana saya nanti. Dan ternyata, firasat saya benar. Saya tidak lulus SPMB. Sebelumnya saya juga mencoba ikut Ujian Mandiri (UM) UGM. Lagi-lagi saya gagal. Waktu itu saya benar-benar depresi. Itulah saat-saat dimana saya berada pada titik terendah dalam hidup saya. Rasa-rasanya ingin sekali membenamkan diri dan lenyap dari permukaan bumi. Saya malu. Malu kepada keluarga, malu kepada teman-teman, malu kepada guru. Seakan-akan saya adalah makhluk paling bodoh di jagat raya ini. Kemudian datanglah kabar itu. Bak angin surga, saya tak henti-hentinya mengucapkan syukur. Saya diterima di STAN! Setelah ditolak beberapa universitas, akhirnya saya dapat melanjutkan kuliah di sekolah tinggi yang terus terang tidak pernah terpikirkan oleh saya sedikitpun. Bahkan dalam mimpi! (ceilee.. hiperbolis banget!)


Tapi mungkin ini sudah jalannya. Takdir Tuhan yang menetapkan saya harus melewati jalan ini. Saya justru bersyukur bisa dapat melanjutkan pendidikan disini. Setelah saya tahu apa itu STAN dan dimana letaknya, saya justru bahagia tidak diterima di universitas-universitas negeri idaman remaja seusia saya waktu itu. Saya tidak usah mengeluarkan biaya ini-itu yang selangit tingginya. Dan keluarga tak perlu pontang-panting hutang sana-sini buat menutupinya. Yah, semuanya memang ada hikmahnya. Tuhan tidak tidur. Dia sudah merencanakan sesuatu yang terbaik bagi hamba-Nya yang mau mengerti.


Tapi pada awalnya, saya agak pesimis saat pertama kali menginjakkan kaki di kampus plat merah ini (istilah ini saya tahu setelah beberapa bulan kuliah). Saya yang berasal dari kelas IPA yang notabene berhubungan erat dengan matematika atau fisika harus banting setir ke jurusan yang IPS banget, yaitu akuntansi. Memang sih, sebelum penjurusan, saya sempat mendapatkan mata pelajaran ini selama satu tahun, cuma kenapa ya, saya kok susah banget untuk mendapatkan nilai bagus untuk yang satu ini. Paling banter 6 atau 6,5. Makanya saya tidak begitu yakin akan sukses dalam akademis nantinya.


Namun, seiring berjalannya waktu, saya menyadari segala situasi yang terlahir disini. Segala fasilitas dan ‘kenyamanan’ yang tercipta. Gedung-gedung yang kurang terawat, tata ruang yang acak-acakan, kambing-kambing yang berkeliaran (saya pernah mengira ini hewan peliharaan STAN, lho!), dan manusia-manusianya yang beraneka ragam. Kuliah disini pun terbilang santai. Waktu tingkat satu saya malah pernah kuliah hanya 3 hari dari 5 hari aktif perkuliahan. Jadi 2 hari sisanya, saya bisa santai-santai di kos-kosan atau pulang ke rumah orang tua. Belum lagi kalau ada dosen-dosen yang seringkali tidak bisa hadir dan mengajar di kelas, semakin menambah jadwal malas-malasan saya. Ujian? Tenang, semua materi bisa dilalap dalam satu malam alias SKS. Apalagi seminggu sebelum ujian, beredar kisi-kisi yang bejibun banyaknya. Bahkan kalau beruntung, soal-soal ujian besok pagi adalah copy paste dari kisi-kisi sehari sebelumnya. Dan jangan khawatir dengan DO di STAN. Meskipun terlihat menyeramkan dengan segala perangkat peraturan yang terkesan amat ketat, lolos dari drop out pun bukan suatu kemustahilan. Meskipun anda merasa sangat tidak bisa dalam mata kuliah tersebut. Ada saja dosen yang akan membantu. Bahkan katanya nih, ada dosen yang memberi nilai ujian mahasiswa-mahasiswanya dengan menggunakan sistem pukul-rata nilai B atau B+. Ada juga dosen bonus yang sudah memberi sinyal bahwa beliau tidakakan memberikan nilai kepada mahasiswa-mahasiswanya dengan nilai C-. Pokoknya semua mudah-mudah saja asal kita juga mengikuti peraturan.


Tapi akhir-akhir ini, saya jadi berpikir. Apa ini yang namanya kuliah? Kok kelihatan nggak intelek banget. Terkadang saya merasa bersalah juga sudah mengecap pendidikan disini. Saya sudah menyisihkan 500 calon mahasiswa lain untuk mendapatkan kursi di kampus ini. Saya telah memupuskan harapan dan impian mereka. Dan mungkin saja, itu adalah satu-satunya harapan mereka dan mereka berharap banyak darinya. Tidak hanya mereka yang mendaftar tapi juga para orang tua dan orang-orang di belakang mereka yang segenap hati men-supportmereka. Terkadang, saya merasa tidak pantas menyandang gelar sebagai mahasiswa STAN. Saya menyadari bahwa saya bisa kuliah gratis disini karena rakyat yang membiayai. Saya takut jika nanti saya lulus, saya tidak bisa menjadi seperti apa yang mereka harapkan. Saya takut mengecewakan mereka. Saya sadar, ketika saya memutuskan untuk kuliah disini, saya membawa tanggung jawab moral yang sangat besar. Konsekuensi yang harus saya bayar dari keputusan pilihan saya. Terlebih lagi tanggung jawab terhadap Tuhan. Tapi saya terlalu egois untuk melaksanakannya. Saya terlalu naïf untuk mengakui bahwa saya berada disini dengan mengorbankan 500 orang lain di luar sana. Saya menutup mata bahwa Tuhan menghendaki saya disini agar saya dapat melakukan suatu perbaikan. Bukan malah menambah kebobrokan citra kampus. Saya sering mendengar keluhan dari para lulusan STAN tentang ketidaksesuaian ilmu yang mereka dapat selama di kampus dengan aplikasinya di kantor tempat mereka bekerja. Saya sungguh menyayangkan hal ini justru terucap dari mulut mereka sendiri yang notabene adalah para alumni STAN. Ini justru melemahkan mereka-mereka yang masih duduk di bangku kuliah. Mereka sudah tercetak dengan pola pikir bahwa mereka belajar 3 tahun adalah untuk suatu kesia-siaan. Ini menjadikan mereka berprilaku seenaknya ketika mengikuti perkuliahan di kampus. Yang penting lulus. Entah ilmu itu menempel atau tidak itu urusan nanti. Tapi memang, saya juga tidak mengecilkan mereka (baca: mahasiswa) yang mencoba bersikap idealis dengan benar-benar fokus pada pelajaran. Tapi orang-orang seperti itu hanya segelintir saja. Bagai buih di lautan. Atau pasir di gurun. Sungguh mengenaskan.


Jadi saya berpikir, ketika hal-hal seperti ini dibiarkan terjadi dan tidak ada yang bertindak, maka dimanakah pertanggungjawaban kita? Seenaknya kita menggunakan uang rakyat hanya untuk mencetak manusia-manusia yang tidak memihak kepada rakyat. Maka tak heran jika nantinya STAN hanya akan mencetak manusia-manusia yang bermoral rendah yang dengan tega merampok uang rakyat dengan dalih kekuasaan. Padahal mereka sama-sama tahu bahwa mereka dibiayai oleh rakyat. Jadi, sudah semestnya segala tindak-tanduk mereka merefleksikan apa-apa yang diinginkan oleh rakyat. Kalau begini sih sama saja seperti air susu dibalas dengan air tuba. Mending uang itu dikembalikan lagi kepada rakyat atau disubsidi kepada rakyat kecil yang jelas-jelas membutuhkannya. Setidaknya itu mengurangi rasa bersalah kita terhadap rakyat dan kepada Tuhan. Masa sih kita nggak mampu membayar lebih untuk sesuatu yang jelas-jelas kita mengambil manfaat yang besar darinya? Tapi memang ya, saya merasa sesuatu itu dianggap tidak berharga saat kita tidak berkorban apa-apa untuknya. Rasa memiliki dan menghargainya itu tidak ada saat sesuatu itu didapat secara gratis atau cuma-cuma. Kalau begini, Ibu Pertiwi bisa menyesal melahirkan pewaris-pewaris negerinya. Jadi daripada hal ini dibiarkan saja dan menanggung dosa yang beranak pinak, saya mulai berpikir, bagaimana jika STAN dibubarkan saja?

My Adventure


Guys, kebayang nggak sih lw kalau suatu saat lw bakal melakukan hal yang sebelumnya nggak pernah terlintas dalam benak lw bahkan dalam mimpi sekalipun! Nggak? Gw iya! Suatu hari, temen gw berencana untuk jalan-jalan setelah UAS. Pas gw tanya, busyeet… katanya mau jalan-jalan ke Gunung Merbabu alias hiking! Selama lebih dari 20 tahun gw hidup, belum pernah sekalipun gw naik gunung. Paling banter naik pohon atau naik genteng rumah (hehehe). Apalagi ini harus naik gunung yang masuk ke dalam daftar top five The Highest Mountain di pulau Jawa. Tapi di dalam hati gw, terasa ada semangat menggebu-gebu yang mengusik adrenalin gw. Masa sih, seumur hidup gw, cuma dihabisin untuk jalan-jalan ke mall atau ke tempat-tempat hiburan konyol doang. Sekali-sekali gw pengen melakukan sesuatu yang bener-bener menantang nyali. Dan mungkin aja, di perjalanan gw yang beda kali ini, gw mendapat sesuatu yang lebih dari sekadar pemuasan hormon testosteron gw. Kata temen-temen gw yang udah sering naik-turun gunung, setiap kali mereka nanjak, mereka merasakan keimanan mereka bertambah. Mereka percaya ketika di gunung, tidak ada satu kekuatan pun yang dapat menolong mereka kecuali melalui pertolongan dari yang Maha Kuasa. Keadaan ini membuat mereka menjadi sosok yang pasrah dan bertawakal kepada Sang Maha Pencipta. Wah, pokoknya mereka jadi agamis banget deh! Maka, setelah gw pikir-pikir, gw merasa harus ikut dalam petualangan ini. Gw namakan perjalanan kali ini dengan judul: SEBUAH PERJALANAN MENCARI JATI DIRI, MENEMUKAN KEMBALI MOMEN KETUHANAN (weleh-weleh, berat banget ya!). Dan akhirnya, ditetapkanlah hari Rabu tanggal 2 April sebagai hari keberangkatan kami.

Kami? Gw belum cerita ya. Rencananya, acara naik gunung ini akan dilakukan oleh 7 orang tapi ternyata cuma 5 orang yang akhirnya ikut serta. Semua adalah temen-temen kampus gw. Nah, karena cuma gw yang baru pertama kali naik gunung, maka gw minta nasihat dari banyak orang yang udah pernah naik gunung. Mulai dari abang gw, abang ipar gw, sampe temen-temen kampus gw. And finally, lengkap sudah list barang-barang yang akan gw bawa. Tapi gw bingung, pas briefing bareng temen-temen gw yang ikut, kayaknya temen-temen gw ga ada yang serepot gw bawaannya. Mereka terkesan nyantai. Padahal kita sama-sama belum pernah ke Merbabu. Dan yang bikin geli, ketika gw lihat daftar barang bawaan kelompok, nggak tercantum nama tenda atau sleeping bag disitu. Pas gw tanya, dengan enteng mereka menjawab nggak perlu pake tenda atau sleeping bag, cukup pake trash bag (kantong sampah). Hah, maksudnya?! Ntar, kalau gw tidur pake itu dikira sampah lagi, terus dibuang ke jurang gimana. Dan ketika gw tanya lagi, gimana kalau hujan deras terus ada badai. Mereka malah jawab, “Kan ada jas ujan! Tinggal dilebarin terus dipasang jadi atap, beres…” Gokil! Emang bisa apa jas ujan tukang ojek itu menahan terpaan angin dan dinginnya air hujan yang bertubi-tubi bakalan menyerang tubuh gw yang kurus kering ini! Mereka udah pada gila kali ya. Tapi karena gw sama sekali nggak punya pengalaman di bidang ini dibandingkan mereka yang udah pernah (walaupun sekali) naik gunung, gw cuma bisa manut, menelan air ludah dan mengangguk-angguk bego.

Aaanyway, dengan peralatan seadanya (bener-bener seadanya!), kita akhirnya berangkat ke Merbabu. Rencananya kita berangkat naik Kereta Ekonomi Progo dari Stasiun Senen sampai Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta. (Btw, uang di dompet gw ada sekitar Rp300 ribu. Gw berusaha seirit mungkin membelanjakannya karena itu adalah uang makan gw selama sebulan T_T ). Dan ternyata pas sampai Stasiun Senen (ini sekitar pukul 13.30 WIB) terjadi insiden sodara-sodara! Temen gw mengira, ada Kereta Progo yang berangkat pukul 14.00 dari Stasiun Senen. Tapi pas kita lihat di jadwal, doeeennnkkk…! Keretanya baru ada jam 9 malem! Busyet, kenapa nggak dicek dulu sih! Dan akhirnya, karena udah terlanjur nyampe di stasiun dan mustahil untuk balik lagi ke kos, kita mutusin untuk ngamper di masjid dekat stasiun sampe jam 9 malem. (Denger ini gw langsung lemes dan semangat gw berkurang tinggal 70%). Ya udah, kita akhirnya leyeh-leyeh di masjid (bagi yang ga tahu arti leyeh-leyeh, coba cari artinya di Kamus Besar Bahasa Hewan dengan Ejaan yang Belum Disempurnakan). Bosen baca buku, gw ambil Al Qur’an terus tilawah (Ehem, ehem). Bosen tilawah, gw tiduran sampe akhirnya tidur beneran terus dibangunin orang karena udah masuk waktu maghrib. Dan tibalah saat yang ditunggu-tunggu. Waktu telah menunjukkan pukul ½ 9 malem. Setelah sempat makan malam (yg mahal banget menurut ukuran kantong mahasiswa) di sekitar stasiun, kita berlima langsung cabut ke dalam stasiun. Sampe di dalam ternyata kita harus nunggu lagi karena keretanya telat. (Yaaahhh…. emang Indonesia banget dah!)

Perjalanan di dalam kereta sengaja gw skip karena bakal gw ceritain secara terpisah di tulisan gw yang lain yang berjudul: “KUHABISKAN SEMALAM DI KERETA PROGO”. Wehehehe.. nggak ding! Habis nggak ada yang spesial selama perjalanan gw di Kereta Progo (kecuali lw mw tahu gimana posisi tidur gw, gw makan apa, gw pipis jam berapa, dll). Keesokan paginya, sekitar pukul ½ 8, gw tiba di Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta. Masih dengan mata belekan dan badan yang terasa pegel-pegel akibat posisi tidur yang salah semalaman karena penuhnya kereta (namanya juga kereta ekonomi), temen gw langsung ngasih saran untuk pergi ke Malioboro karena jaraknya lumayan dekat dari stasiun. Setibanya di Malioboro ternyata nggak ada apa-apa karena masih terlalu pagi (ya eyalah!). Dengan keadaan yang sedikit shock karena bingung mw ngapain, kita mutusin untuk sarapan pagi disitu. Menunya lontong sayur pake telor plus senyum mba penjualnya. Murah koq, cuma Rp 3 ribu (ini sebelum kenaikan BBM, lho!). Sambil makan, kita merencanakan jadwal perjalanan kita di Yogyakarta: Pagi, jalan-jalan sampe puas ke Parangtritis dan sekitarnya. Abis itu nginep di rumah salah satu temen gw yang ikut pendakian di daerah Klaten. Besok paginya, setelah Sholat Jumat baru berangkat ke Gunung Merbabu.

Setelah kenyang ngisi perut di pinggiran jalan Malioboro, kami segera bersiap menuju Parangtritis. Sebelum itu, kita mau mampir dulu ke TB. Gramedia karena temen gw mau beli peta Jogjakarta. Temen gw yang sok tahu langsung nyetop taksi dan nawar Rp 20 ribu supaya diantar kesana. Eh, nggak taunya TB. Gramedia ternyata deket dari Malioboro! Dan tau nggak, argo di taksi cuma menunjukkan angka Rp 8 ribu! Rugi 12 ribu. Pantes si sopir taksi nyengir aja waktu nganterin kita. (Pelajaran yang bisa dipetik: Kalo lw lagi di daerah antah-berantah terus pengen naik taksi ke suatu tempat yang loe nggak tau dimana, jangan coba-coba sok tahu dengan menawar harga. Pake argo aja!).

Di Jogja ternyata ada juga lho alat transportasi (yang diklaim) modern yang dikirain cuma ada di Jakarta doang which is Busway. Bedanya kalo di Jakarta ada embel-embel kata Trans Jakarta di belakang kata Busway, yang ini ditambah kata Trans Jogja (Ya iyalah!).

Sampai di Pantai Parangtritis udah sekitar jam 10-an. Wah, waktu ngeliat papan “SELAMAT DATANG DI PARANGTRITIS” terasa exciting banget. Udah ngebayangin yang macem-macem (Hush! Jangan mikir jorok ya!). Tapi tunggu sebentar, kayaknya ada yang aneh deh. Ya ampun, ternyata disana sepiiiiiii banget! Cuma ada kita berlima dan berapa orang turis lokal (ya iyalah, ini kan bukan musim liburan). Udah gitu pas kita menginjakkan kaki (kita berlima dengan pede langsung melepaskan alas kaki) di pasir Parangtritis, oh MG! serasa berjalan di atas bara, puanaasss banget! Buru-buru ngacir ke dalam air. Seger. Oh ya, ombak di Pantai Parangtritis lumayan gede-gede. Waktu gempa di Jogja beberapa waktu yang lalu aja, ombak di pantai ini mencapai ketinggian 5 meter. Di sekitar pantai, masih dapat dilihat bekas-bekas keganasan ombak Parangtritis (Pantes nggak ada bule yang surfing atau sekadar berjemur disini, padahal kita udah ngarep-ngarep gitu!).

Waktu menunjukkan pukul ½ 1 siang. Setelah puas foto-foto dan main air di Pantai Parangtritis, kita bersiap cabut dari situ. Sebelum itu, kita sempet makan di salah satu warung di sekitar pantai (dan ternyata itu adalah satu-satunya warung yang buka). Kita pesen nasi rames sama es kelapa. Dan ya ampun… nunggunya itu lho, lamaaaaa banget. Jadi ternyata, ibu penjual makanan itu beli dulu bahan makanannya dari warung sekitar itu, udah gitu nasinya juga baru dimasak, pake kompor minyak lagi! (kita curiga kalo beras yang dimasak itu juga baru aja dipanen dari sawah). Setelah menunggu berjam-jam sampai lumutan dan perut udah keroncongan sampai abis kira-kira dua album, nasi ramesnya jadi juga. Begitu ngeliat tuh nasi, segala etika di meja makan dan tetek bengeknya segera menguap dari kepala kita. Perut udah nggak mau kompromi, tangan udah nggak bisa diatur, kita berlima makan dengan sangat biadabnya. Mungkin dalam hati ibu penjual nasi itu bilang, “Aduh, kasian banget sih anak-anak korban kelaparan ini. Lihat aja cara makannya, mirip kayak orang barbar yang nggak ketemu nasi selama satu bulan.”

Eniwei, setelah episode yang memalukan itu kita berlima melanjutkan perjalanan ke Klaten untuk menginap selama semalam di rumah salah satu anggota ekspedisi ini. Ternyata ada kebiasaan yang cukup unik dari masyarakat Klaten di sekitar rumah yang kita tumpangi. Jadi ketika usai sholat maghrib, ibu-ibu disana menyiapkan makanan buat para jamaah sholat maghrib. Menunya: bubur telor kodok (itu tuh yang warnanya merah, biasanya jadi campuran es buah), gorengan, biskuit, jajanan pasar, dan tak ketinggalan kerupuk. Biasanya hal ini dilakukan pada malam jumat dan malam selasa.

Esok paginya, kita Sholat Jum’at di masjid yang kemarin. Gila, ceramahnya pake bahasa jawa. Mana kita ngerti. Tapi ternyata pas gw ngelirik salah satu teman gw, dia mengangguk-angguk waktu denger ceramah. Gw kirain ngerti ternyata cuma ngantuk… Semalam gw dan keempat teman gw udah menyiapkan barang-barang yang bakal dibawa buat pendakian. Kita juga udah sempet membeli logistik di minimarket deket situ yang ternyata merupakan satu-satunya minimarket di daerah itu. Usai Sholat Jum’at, kita pamit sama si empunya rumah yang tak lain dan tak bukan adalah saudara temen gw dengan niat melanjutkan perjalanan yang menjadi tujuan utama kita kemari yaitu Gunung Merbabu. Estimasi waktu perjalanan adalah 3 jam. Jadi kita akan sampai di kaki gunung ba’da ashar. Tapi ternyata, weleh-weleh, udah lewat 3 jam belum nyampe juga! Akhirnya kita baru sampai kaki gunung jam 7 kurang dikit. Kita sempet singgah dulu di musholla deket situ untuk menunaikan Sholat Maghrib. Abis itu kita melanjutkan perjalanan ke atas. Semakin jauh berjalan, semakin jarang kelihatan rumah-rumah penduduk dan semakin gelap jalanan. Kita berjalan cuma diterangi dengan cahaya senter. Kalau senternya dimatiin, bakalan gelap gulita. Udah gitu jalannya semakin lama semakin menanjak Setengah mati gw jalan selama 1 jam, ternyata baru sampe basecamp. Di basecamp kita sempat lapor diri dan ngisi buku tamu (jadi kalo lw ilang di gunung, orang sekampung bakal nyariin lw). Kita agak shock begitu ngeliat daftar tamu. Tamu terakhir yang melakukan pendakian di Gunung Merbabu adalah bulan Februari alias 2 bulan lalu. Jadi, kita berlima adalah satu-satunya orang yang yang melakukan pendakian pada saat itu. Padahal biasanya Gunung Merbabu ramai dikunjungi para pecinta alam. Gw udah pasrah aja sama yang Maha Kuasa. Mau nggak mau gw harus meneruskan perjalanan ini. Segala pengorbanan gw untuk nyampe ke gunung ini harus terbayar dengan sampai di puncaknya.

Sebelum meneruskan perjalanan ke dalam Gunung Merbabu yang gelap dan semakin kelihatan seram ajah kalo dilihat dari dekat, kita cek lagi barang-barang yang dibawa. Semua lengkap (minus tenda dan sleeping bag, tentunya). Eh, tapi ternyata ada barang yang nggak ada. Temen gw yang dapat tugas bawa pisau atau golok lupa bawa. Yah, gimana cara kita merentas jalan kalo nggak ada golok atau pisau? Masa mau pake gigi! Untungnya, bapak penjaga basecamp dengan baik hati menawarkan bantuannya dengan meminjamkan goloknya kepada kita (Semoga Allah swt. menerima amal baik bapak penjaga basecamp itu. Tapi maafkan kami, pak, golok yang bapak pinjamkan itu tak sengaja kami rusakkan sewaktu dengan semangatnya kami membabat habis pohon-pohon tak berdaya di hutan sana).

Okay, finally semuanya udah siap. Kita juga udah sempet buat copy-an peta Gunung Merbabu. Jaga-jaga kalo nyasar. Setelah sempat mendengar wejangan dari bapak penjaga basecamp, kita pun siap meneruskan perjalanan. Jam sudah menunjukkan pukul ½ 9 malam. Menurut bapaknya, butuh waktu kira-kira 6 jam untuk sampai puncaknya, itu pun kalau kita lewat jalur yang benar alias nggak nyasar. Tapi baru beberapa menit kita memasuki area Gunung Merbabu, kita udah nyasar. Mana papan penunjuk jalan yang ada di pohon-pohon rata-rata udah pudar dan nggak bisa dibaca lagi! Copy-an peta yang dibuat pun nggak banyak berguna karena dibuat oleh teman gw yang nggak bisa gambar! (Jangan-jangan dia juga nggak ngerti lagi dia tadi gambar apa). Selama bermenit-menit kita cuma putar-putar. Serasa dejavu setiap jalan yang kita lewati. Panik! Gw juga sempat berpikir yang nggak-nggak. Tapi gw dan teman-teman berusaha untuk tetap berpikir jernih. Kita berusaha untuk mencari pos 1. (Sebagai informasi, kalo lw mendaki Gunung Merbabu, lw bakal nemuin 3 pos yang tersebar di sepanjang jalur yang benar menuju puncak Merbabu). Akhirnya, setelah hampir putus asa kita nemuin juga tuh pos 1. Jadi yang dinamakan pos itu disini cuma bangunan dari kayu dengan atap rendah dari genteng tanpa dinding dan beralaskan tanah. Kemudian kita beristirahat sebentar disitu untuk mengatur nafas yang udah mulai ngos-ngosan. Namun, semakin lama diam beristirahat justru badan jadi semakin dingin. Tak lama kemudian kita memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju pos berikutnya. Setelah beberapa menit berjalan, kita NYASAR lagi. Akhirnya, salah satu temen gw ngasih ide: “Kalau kita nggak bisa nemuin jalan yang bener, ya udah kita bikin jalan sendiri. Kita kan mau ke puncak, ya berarti naik ke atas. Nggak peduli ada jalan apa nggak. Yang penting sampe puncak.” Mungkin karena kita udah capek berputar-putar dan putus asa karena nggak bisa nemuin jalan yang bener, akhirnya kita melaksanakan ide sinting temen gw itu. Perjalanan jadi semakin menegangkan. Kita berlima mengambil garis lurus dari gunung itu. Jadilah kita seperti orang yang panjat tebing ketimbang orang naik gunung. Kemiringan tanah yang kita daki rasanya lebih dari 70 derajat! Pokoknya bener-bener gokil! Mungkin saking stressnya nggak tau jalan. Kaki gw juga udah mulai terasa berat dan sulit digerakkan. Tapi gw paksain untuk jalan. Gw berusaha untuk mencari akar-akar pohon sebagai pegangan gw. Bahaya kalo sampe jatuh. Kelihatannya dalem banget kayak nggak ada dasarnya. Mana penerangan satu-satunya cuma senter dan itu pun cuma ada satu. Penderitaan gw semakin bertambah akibat gw salah pake sepatu. Gw pikir dengan memakai sepatu capung, langkah kaki gw jadi bakal terasa lebih ringan tapi ternyata nggak! Karena pendakian kita ekstrim banget, gw jadi harus sering-sering betulin sepatu yang copot karena bagian belakang sepatu yang rendah. Dengan posisi yang sangat ekstrim karena harus berdiri di kemiringan yang nggak masuk akal, gw berkali-kali betulin sepatu. Udah gitu, tuh sepatu sempet jatuh ke bawah sebelum sempet gw tangkep. Untung temen yang di bawah gw sigap menangkap sepatu sialan itu. Gw bersyukur nggak jadi nyeker di gunung. Akhirnya tuh sepatu gw ikat ajah sama kaki gw supaya nggak jatuh lagi. (Pelajaran yang bisa dipetik: “Jangan pernah memakai sepatu capung atau sepatu dengan bagian belakang yang rendah karena bakal nyusahin loe sendiri waktu mendaki!”).

Udah jam 1 pagi. Kita masih berkutat dengan akar-akar pohon untuk sampai di atas. Alhamdulillah, akhirnya jalanan berubah menjadi landai nggak seekstrim yang tadi. Dan nggak jauh dari situ ada seonggok bangunan mirip rumah yang tak lain dan tak bukan adalah sebuah pos! Cihui, berarti kita udah kembali ke jalur yang benar. Eh, tapi ini udah pos berapa ya? Tadi kan kita udah ngelewatin pos 1, jadi mungkin ini pos 2. Tapi letaknya nggak mirip sama yang digambar di peta. Dan eng..ing..eng.. salah satu temen gw mengklaim bahwa ini adalah pos ketiga, yang berarti kita udah deket ke puncak. Padahal dia nggak punya argumen yang jelas yang menyatakan kalo emang bener itu pos ketiga. Tapi karena kita ingin menghibur diri kita masing-masing , maka kita sepakati itu adalah pos ketiga. Intinya, kita mengambil jalur pintas dari pos 1 ke pos 3 tanpa melalui pos 2 (Dasar aneh!). Setelah istirahat sebentar untuk mengumpulkan tenaga, kita melanjutkan perjalanan kembali dengan niat menaklukan puncak Gunung Merbabu. Karena terbuai oleh khalayan kita sendiri yang mengklaim puncaknya bakal sebentar lagi kelihatan, maka dengan semangat 45 kami kembali melanjutkan perjalanan. Nggak peduli kaki semakin sakit dan badan terasa pegel-pegel. Pokoknya kita udah nafsu banget pengen segera sampe di puncak. Tapi… 2 jam berlalu, kami mulai kasak-kusuk, koq nggak nyampe-nyampe ya? Semangat yang tadinya membara mulai menguap. Kaki gw mulai terasa berdenyut-denyut. Dingin yang semakin menusuk seakan menembus ke dalam tulang-belulang. Mati rasa. Oh, gw rasa that’s it! Gw nggak sanggup meneruskan perjalanan lagi. Seluruh indera gw nggak mau lagi berkompromi. Gw minta temen-temen untuk beristirahat malam ini di sekitar area ini. Untungnya, temen gw semua pengertian. Kita mencari tempat yang landai dan lapang buat tidur. Gw menggelar jas hujan yang gw bawa sebagai alas tidur. Pas gw merebahkan diri, subhanallah… bejuta-juta bintang gemerlap bertaburan di atas langit yang cerah malam itu. Segala puji bagi Sang Maha Penciptanya. Sebelum tidur, gw sempet memikirkan kembali perjalanan gw malam itu. Ajaibnya, selama perjalanan, kami sama sekali nggak menemukan hal yang aneh-aneh. Jangankan yang aneh-aneh, binatang seperti lintah, ular dan sejenisnya pun nggak kita temui malam itu (maklum saat itu sedang musim penghujan). Ditambah lagi, langit yang cerah malam ini, semakin menambah keyakinan gw atas kekerdilan manusia di hadapan Tuhan. Manusia nggak bisa berbuat apa-apa tanpa pertolongan dari Allah swt. Gw nggak tau gimana jadinya kalau saat itu hujan badai turun dengan hebatnya. Nggak ada hujan aja tubuh gw udah gemetaran saking kedinginannya, apalagi kalau ada hujan. Sungguh sangat indah skenario-Mu, ya Allah. Setelah itu gw tertidur dengan senyuman tersungging di bibir gw. (Bersambung ya… : p )