Friday, October 31, 2008

THE TIME HAS COME!

Kemarin saya mendapat sms dari teman saya. Isinya memberitahukan kalau saya bakal ditempatkan di BPKP. Dalam hati saya cuma bisa mengucapkan syukur dan mengelus dada. Kalau nggak salah kemarin sewaktu menuliskan pilihan instansi, saya menempatkan BPKP sebagai pilihan terakhir saya setelah Departemen Keuangan dan BPK tapi kenapa malah dapat BPKP yang kepanjangannya saja baru saya tahu setelah browsing di internet, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Yang Maha Menempatkan lebih tahu yang terbaik buat kita, begitu sms dari teman saya setelah saya memberitahukan kalau saya dapat di BPKP.


Sebenarnya masih tersisa pilihan lain jika saya tidak mau/tidak ingin ditempatkan di BPKP. Pilihannya ada dua, saya menerima (dengan ikhlas) penempatan saya di BPKP atau saya memilih keluar dari BPKP dengan status ‘eksodan alumnus STAN’. Dan akhirnya saya memutuskan untuk bergabung bersama keluarga besar BPKP. Saya pikir, di zaman yang sangat susah mencari pekerjaan ini, seharusnya saya bersyukur bisa langsung kerja begitu saya lulus kuliah. Masih banyak orang di luar sana yang sedang bingung mengais pekerjaan. Padahal titel mereka lebih keren dari saya, sarjana, sedangkan saya cuma seorang lulusan diploma III.


My Dream

Banyak dari teman-teman kuliah saya yang mengatakan ingin keluar dari PNS begitu mendapatkan ‘apa yang mereka inginkan’. Kebanyakan dari mereka malah mengatakan akan keluar dari PNS apabila telah mendapatkan modal yang cukup untuk berwirausaha. Mereka merasa tidak betah hidup dengan status seorang PNS. Saya pun dulu juga begitu. Punya niatan yang sama dengan kebanyakan orang ini. Saya menganggap PNS hanyalah sebagai sebuah batu lompatan bagi saya untuk dapat hidup lebih layak. Saya menganggap PNS hanyalah sebuah mesin uang yang harus saya keruk dan saya tinggalkan begitu saya puas. Dan saya merasa sama sekali tidak bersalah. Saya berpikir dahulu saya masuk STAN adalah karena sebuah keterpaksaan karena tidak lulus SPMB. Jadi bukan salah saya kalau saya mau keluar dari PNS empat atau lima tahun kemudian. Toh dari awal saya juga tidak ingin masuk STAN. Namun, akhir-akhir ini saya jadi berpikir, ‘Memangnya kenapa dengan PNS? Saya rasa tidak ada salahnya menjadi seorang PNS. Walaupun gajinya segitu-gitu aja tapi saya bisa bekerja sekaligus mengabdi kepada negara dan menjadi abdi masyarakat. Ditambah lagi saya dapat kuliah gratis adalah karena dibiayai oleh rakyat. Jadi mengapa saya tidak ingin membalas budi baik mereka? Setidaknya sampai 10 tahun ke depan ketika masa ikatan dinas saya berakhir. Dan sekarang itulah mimpi saya, menjadi seorang pelayan masyarakat untuk setidaknya sampai 10 tahun yang akan datang. Tidak muluk-muluk. Tapi gimana ya kalau saya mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi? Masa ikatan dinas saya juga bertambah dong! Yah… jadi tambah lama deh keluar dari PNS… T_T

Wednesday, October 1, 2008

Catatan Tentang Orang Mati

Hari ini kita banyak melihat orang mati. Di televisi kita melihat orang mati karena mengantri pembagian zakat. Di koran kita membaca orang mati karena mudik lebaran. Di lingkungan tempat tinggal kita, tetangga kita mati karena nelen biji rambutan. Intinya, sebenarnya kita acapkali mendengar atau melihat orang-orang mati di sekitar kita. Jujur, saya –sebagai orang yang pernah ditinggal mati orang yang saya cintai- sangat takut apabila mendengar kata kematian. Saya jadi teringat kembali peristiwa lampau 12 tahun silam. Ketika ayah saya pergi untuk selama-lamanya meninggalkan 1 istri dan 4 anak. Almarhum meninggal karena serangan stroke pada bagian tubuh sebelah kirinya. Akan tetapi, saya tidak pernah bisa mengingat bagaimana ayah saya mati saat itu padahal saya berada di samping beliau waktu itu, sampai saat ini. Mungkin juga karena waktu itu saya masih kelas 4 SD. Yang saya ingat adalah tiba-tiba para handai taulan berdatangan ke rumah saya. Waktu itu banyak sekali yang datang. Rumah orangtua saya yang mungil di bilangan Depok penuh sesak menampung para pelayat yang terus berdatangan dari pagi hingga petang. Waktu itu belum sempat terpikirkan oleh saya bagaimana jika yang mati itu adalah saya. Baru akhir-akhir ini, pikiran itu terus mengiang-ngiang di kepala saya, menghantui saya. Akankah ketika saya mati akan banyak orang yang melayat saya seperti ketika ayah saya meninggal dunia? Akan banyakkah orang yang menangisi kepergian saya suatu hari dari dunia fana ini selama-lamanya? Adakah orang yang akan mengusung jenazah saya dan mengantarkan saya sampai peristirahatan terakhir? Bagaimana kalau tidak ada seorang pun yang bersedia? Bagaimana kalau tidak pernah ada seorang pun yang menghadiri pemakaman saya selain keluarga saya? Itu pun jika mereka tidak mendahului saya mati. Bagaimana jika tidak pernah ada orang yang menangisi kematian saya bahkan mereka malah bersuka cita karena kepergian saya? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu yang kerap kali bermunculan dalam kepala saya akhir-akhir ini. Maka kemudian saya jadi takut mati. Maka kemudian saya berniat mencari teman di dunia sebanyak-banyaknya sebelum saya mati. Agar mereka bisa menangisi kepergian saya. Setidaknya untuk hadir di pemakaman saya. Menurut saya betapa memalukan jika tidak ada seorang pun yang hadir dalam pemakaman seseorang. Atau sangat sedikit orang yang datang. Saya berpikir bahwa nilai seorang manusia baru bisa diukur manakala ia telah meninggal dunia. Caranya, ya dengan itu tadi. Dengan menghitung berapa banyak orang yang datang melayat saya. Berapa banyak orang yang menangisi kepergian saya –bukan menangis karena hutangnya belum dibayar-. Berapa banyak orang yang mengusung jenazah saya sampai ke tempat peristirahatan terakhir saya. Jadi saya mengukur seseorang dengan kuantitas. Tapi ternyata saya melupakan kualitas. Bahwa apabila seorang koruptor mati tak mungkin dilayat oleh petugas KPK yang menangkapnya. Atau pemakamannya tak mungkin dihadiri oleh rakyat yang dibuat sengsara oleh tindakannya. Anda mengerti maksud saya, kan?

Intinya adalah seseorang tak mungkin berharap akan didatangi banyak orang pada saat kematiannya manakala ia hanya meninggalkan catatan kriminal saat di dunia –kalaupun datang, paling cuma untuk bilang, “Mampus lo..!”-. Saya tertegun sendiri ketika pada suatu saat di tahun 2005 melihat ada orang mati yang begitu banyak dihadiri oleh para pelayat. Tidak hanya dari kalangan keluarganya saja tetapi bahkan orang-orang yang tidak pernah bersua dengannya turut hadir dalam upacara pemakamannya. Mereka –para pelayat itu- seperti air bah yang datang bergelombang. Tak pernah ada habisnya. Bahkan sampai keesokan harinya orang-orang masih banyak yang berdatangan membanjiri (bekas) rumahnya di bilangan Pondok Gede. Ya, saya membicarakan salah seorang sosok yang saya kagumi, KH. Rahmat Abdullah. Waktu itu saya terus bertanya dalam hati, “Koq bisa ya? Koq bisa? Koq bisa sih?”. Apa yang membuat almarhum (semoga Allah meridhoinya) bagai sebuah magnet yang menarik banyak orang untuk hadir dalam upacara kematiannya bahkan yang tidak pernah bersua dengan beliau sekali pun. Kira-kira amalan apa yang beliau lakukan selama hidupnya di dunia? Sekarang saya menjadi migrain karena pusing memikirkan jawabannya. Kalau saya melihat dari film tentang beliau (Sang Murrabbi, pen), Ust. Rahmat (begitu biasa dipanggil) dicitrakan sebagai sosok bersahaja, alim, dan memegang teguh prinsip-prinsip agama. Akan tetapi yang membuat saya terperangah adalah bahwa setiap kali Ust. Rahmat berpas-pasan dengan seseorang –bahkan yang tidak beliau kenal- beliau selalu mengucapkan salam kepada orang itu. Dan yang paling membuat saya tertampar adalah manakala beliau hafal nama-nama orang yang diajaknya bicara (termasuk anak kecil). Tidak cukup sampai disitu, bahkan beliau mengetahui siapa keluarganya, kesukaanya apa, cita-citanya apa, dsb. dst. (padahal beliau tidak pernah berkenalan secara langsung). Mungkin ini dia. Inilah yang membuat sosok KH. Rahmat Abdullah begitu dikagumi banyak orang. Sehingga ketika beliau wafat, banyak orang menangisi kepergiannya bahkan langit pun seakan tidak rela melepas kepergiannya. Lantas bagaimana dengan saya? Kira-kira amalan apa yang sudah saya berikan untuk dunia sehingga orang-orang kelak mengenal saya sebagai orang baik-baik ketika saya mati? Rasanya tidak ada, maaf, saya ralat, belum ada. Namun, saya percaya, selama nyawa masih menyatu dengan raga dan jiwa belum dipanggil Sang Maha Kuasa maka masih terbuka kesempatan selebar-lebarnya buat saya, buat kita, untuk melakukan amal baik sebanyak-banyaknya. Agar nanti ketika mati banyak yang menangisi. Atau setidaknya, agar Tuhan meridhoi. Yang penting ikhlas. Itu kuncinya. Berbicara tentang ikhlas, membuat migrain saya menjadi kuadrat.

Syawal 1429H