Sunday, March 15, 2009

GOLPUT??

Sebentar lagi pemilu, rakyat Indonesia bersiap kembali merayakan apa yang dinamakan pesta demokrasi besar-besaran bagi suatu negara. Semakin mendekati hari H, masing-masing partai politik gencar melakukan kampanye besar-besaran demi menjual nama partai mereka, terutama bagi partai-partai baru. Persaingan antara partai politik pun mejadi tak dapat terhindarkan. Hari-hari ke depan, suhu politik di tanah air terasa semakin meningkat. Masing-masing mengklaim partai mereka sebagai partai yang dapat membawa perubahan bagi Indonesia kelak, tentunya diharapkan ke arah yang lebih baik. Namun, ternyata tidak hanya partai-partai saja yang sedang bersaing, di dalam satu partai pun kadang bisa terjadi persaingan bahkan bisa sampai terjadi perang urat syaraf. Lihat saja PKB, beberapa bulan yang lalu sempat terjadi dikotomi kepemimpinan antara kubu Gus Dur dan kubu Muhaimin Iskandar. Walaupun pada akhirnya KPU memutuskan kubu Muhaimin sebagai parpol resmi dari PKB sebagai peserta Pemilu 2009, namun toh PKB versi Gus Dur tak mau kalah begitu saja. Bahkan, Gus Dur mengatakan akan golput jika dirinya tidak diajukan sebagai capres 2009. Dan tak segan-segan, Gus Dur mengajak simpatisannya untuk juga melakukan golput secara berjama’ah. Tak lama berselang, bak gayung bersambut ucapan Gus Dur dibalas MUI dengan mengeluarkan fatwa-fatwa baru yang dinilai sebagian orang sangat kontroversial. Setelah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa Amrozi Cs bukanlah mujahid, MUI mengeluarkan fatwa ‘haram’ rokok dan golput. Banyak pihak yang menyayangkan fatwa MUI kali ini, namun gelombang dukungan juga bukan berarti tak ada. Pada kesempatan ini, saya tidak ingin membicarakan fatwa yang pertama yakni mengenai larangan rokok karena saya sesungguhnya bukanlah seorang perokok atau bekerja di pabrik rokok atau seorang petani tembakau. Jadi saya sih setuju-setuju saja dengan fatwa yang pertama. Yang menjadi masalah adalah fatwa yang kedua. Saya mencoba mendiskusikan hal ini dengan beberapa teman saya. Dan teman saya –secara berapi-api- membuka diskusi tersebut dengan mengatakan, “Hak memilih dalam pemilu sudah jelas diatur dalam konstitusi sebagai sebuah hak. Nah, yang namanya hak itu adalah sesuatu yang boleh kita ambil (gunakan) atau tidak. MUI jelas keliru dengan mengatakan golput itu haram. Karena golput adalah sebuah pilihan. MUI juga jelas-jelas telah ‘memaksa’ rakyat dengan tidak mengindahkan konstitusi. Dan, bukankah golput juga sama dengan memilih? Yaitu memilih untuk tidak memilih?.”

Mendengar penuturan teman saya ini, saya jadi termenung sendiri. Saya pikir, kata-kata teman saya juga benar adanya. Namun, cobalah dengarkan kawan, saya juga memiliki pendapat sendiri tentang fatwa MUI kali ini. Saya yakin, MUI juga pasti memiliki alasan yang kuat sebelum akhirnya menjatuhkan sebuah fatwa. Saya mencoba untuk melihat dari sisi yang berbeda. Coba bayangkan, apabila seandainya nanti benar-benar terjadi gelombang golput secara besar-besaran. Tentu ini tidak akan bagus bagi perkembangan demokrasi di negara kita yang saat sekarang ini sedang berusaha membangun citra yang lebih baik di mata dunia. Dan saya pikir apa untungnya golput? Tidak ada? Jawabannya salah! Ternyata golput itu juga menguntungkan. Menguntungkan bagi sebagian orang tentunya. Segelintir pihak justru akan tertawa senang melihat kondisi ini dan berusaha memanfaatkannya sebagai sebuah cara mengambil alih kekuasaan.

Belum mengerti? Baiklah, akan saya coba terangkan. MUI sebagai sebuah lembaga penting bagi umat Islam dan memiliki pengaruh yang cukup besar, sudah barang tentu memiliki kewajiban untuk melindungi kepentingan-kepentingan umat Islam di negeri ini yang mayoritas memeluk agama Islam. Selain itu, MUI berkepentingan menjaga agar umat Islam tidak menyimpang dari ajaran agamanya. Karena alasan itulah, MUI acapkali mengeluarkan fatwa-fatwa yang kental dengan nuansa agama, khusunya agama Islam. Nah, jika polemik golput mewabah di kalangan umat Islam (apalagi hal ini dilontarkan dari mulut seorang Gus Dur yang beragama Islam dan disegani sebagian orang), ditakutkan masyarakat muslim secara berjama’ah akan melakukan aksi golput. Hal ini mengakibatkan, posisi-posisi strategis di pemerintahan menjadi tidak lagi akan diduduki oleh umat Islam. Yang dimaksud posisi-posisi strategis disini adalah jabatan-jabatan yang mampu mengeluarkan produk-produk kebijakan untuk suatu negara. Ketika tak ada lagi umat Islam di pemerintahan maka bukan tak mungkin pihak-pihak lain akan muncul menggantikan. Pihak-pihak yang lain ini bisa kita sebut pihak non muslim. Ekses lebih lanjut, dari minimnya pejabat muslim adalah produk-produk kebijakan yang diambil bisa jadi menjadi tidak menguntungkan bagi kaum muslimin. Kehidupan bernegara pun bisa menjadi sangat riskan karena umat Islam masih menjadi mayoritas di tanah air. Itulah mungkin sebagian alasan yang saya rasa menjadi pertimbangan MUI mengeluarkan fatwa haram golput ini. Namun saya berpikir, seharusnya kalau MUI berpikiran seperti itu, ada baiknya kalau di belakang fatwa haram golput mestinya ditambahkan embel-embel ‘khusus untuk umat Islam saja’. Wallahu’alam.
Rata Penuh