Friday, August 8, 2008

STAN, Dalam Kacamata (Kuda) Saya

Juli-Agustus ini, ada event akbar di Jakarta yang bikin geger seantero Indonesia. Dan mungkin pula, event ini sangat dinanti berjuta-juta manusia yang memimpikannya. Tapi bukan Indonesian Idol. Memang sih, sama-sama bekennya. Tapi bukan itu yang saya maksud. Yang saya maksud adalah Ujian Saringan Masuk (USM) STAN. Lho, kok bisa?! Ya, iyalah bisa. Coba kita lihat data statistik pendaftaran USM tahun kemarin. Mencapai lebih dari 100 ribuan pendaftar. Angka yang sangat fantastis, bukan? Bahkan MURI menobatkan STAN sebagai PTK terfavorit saat itu.


Lalu, mengapa STAN bisa kebanjiran pendaftar dibanding PTK-PTK lain yang tersebar di Indonesia? Ini pertanyaan menarik. Maka saya mencoba menelusurinya. Sebagian besar mahasiswa atau alumni yang saya tanya menjawab dengan jawaban yang hampir senada. ‘STAN itu enak, mas. Udah kuliah gratis, abis lulus ga usah pusing cari kerja!’ Kalau dipikir-pikir, benar juga, sih. Saya jadi ingat pertama kali saya memutuskan untuk kuliah di kampus Jurangmangu ini. Sedikit membuka aib, sebenarnya saya kuliah di STAN bukan karena alasan-alasan di atas. Bahkan, saya tidak tahu STAN itu sekolah apa dan dimana letaknya. Saya cuma ikut-ikutan saja waktu itu. Waktu itu saya berpikir, gimana kalau saya tidak lulus SPMB. Mau kuliah dimana saya nanti. Dan ternyata, firasat saya benar. Saya tidak lulus SPMB. Sebelumnya saya juga mencoba ikut Ujian Mandiri (UM) UGM. Lagi-lagi saya gagal. Waktu itu saya benar-benar depresi. Itulah saat-saat dimana saya berada pada titik terendah dalam hidup saya. Rasa-rasanya ingin sekali membenamkan diri dan lenyap dari permukaan bumi. Saya malu. Malu kepada keluarga, malu kepada teman-teman, malu kepada guru. Seakan-akan saya adalah makhluk paling bodoh di jagat raya ini. Kemudian datanglah kabar itu. Bak angin surga, saya tak henti-hentinya mengucapkan syukur. Saya diterima di STAN! Setelah ditolak beberapa universitas, akhirnya saya dapat melanjutkan kuliah di sekolah tinggi yang terus terang tidak pernah terpikirkan oleh saya sedikitpun. Bahkan dalam mimpi! (ceilee.. hiperbolis banget!)


Tapi mungkin ini sudah jalannya. Takdir Tuhan yang menetapkan saya harus melewati jalan ini. Saya justru bersyukur bisa dapat melanjutkan pendidikan disini. Setelah saya tahu apa itu STAN dan dimana letaknya, saya justru bahagia tidak diterima di universitas-universitas negeri idaman remaja seusia saya waktu itu. Saya tidak usah mengeluarkan biaya ini-itu yang selangit tingginya. Dan keluarga tak perlu pontang-panting hutang sana-sini buat menutupinya. Yah, semuanya memang ada hikmahnya. Tuhan tidak tidur. Dia sudah merencanakan sesuatu yang terbaik bagi hamba-Nya yang mau mengerti.


Tapi pada awalnya, saya agak pesimis saat pertama kali menginjakkan kaki di kampus plat merah ini (istilah ini saya tahu setelah beberapa bulan kuliah). Saya yang berasal dari kelas IPA yang notabene berhubungan erat dengan matematika atau fisika harus banting setir ke jurusan yang IPS banget, yaitu akuntansi. Memang sih, sebelum penjurusan, saya sempat mendapatkan mata pelajaran ini selama satu tahun, cuma kenapa ya, saya kok susah banget untuk mendapatkan nilai bagus untuk yang satu ini. Paling banter 6 atau 6,5. Makanya saya tidak begitu yakin akan sukses dalam akademis nantinya.


Namun, seiring berjalannya waktu, saya menyadari segala situasi yang terlahir disini. Segala fasilitas dan ‘kenyamanan’ yang tercipta. Gedung-gedung yang kurang terawat, tata ruang yang acak-acakan, kambing-kambing yang berkeliaran (saya pernah mengira ini hewan peliharaan STAN, lho!), dan manusia-manusianya yang beraneka ragam. Kuliah disini pun terbilang santai. Waktu tingkat satu saya malah pernah kuliah hanya 3 hari dari 5 hari aktif perkuliahan. Jadi 2 hari sisanya, saya bisa santai-santai di kos-kosan atau pulang ke rumah orang tua. Belum lagi kalau ada dosen-dosen yang seringkali tidak bisa hadir dan mengajar di kelas, semakin menambah jadwal malas-malasan saya. Ujian? Tenang, semua materi bisa dilalap dalam satu malam alias SKS. Apalagi seminggu sebelum ujian, beredar kisi-kisi yang bejibun banyaknya. Bahkan kalau beruntung, soal-soal ujian besok pagi adalah copy paste dari kisi-kisi sehari sebelumnya. Dan jangan khawatir dengan DO di STAN. Meskipun terlihat menyeramkan dengan segala perangkat peraturan yang terkesan amat ketat, lolos dari drop out pun bukan suatu kemustahilan. Meskipun anda merasa sangat tidak bisa dalam mata kuliah tersebut. Ada saja dosen yang akan membantu. Bahkan katanya nih, ada dosen yang memberi nilai ujian mahasiswa-mahasiswanya dengan menggunakan sistem pukul-rata nilai B atau B+. Ada juga dosen bonus yang sudah memberi sinyal bahwa beliau tidakakan memberikan nilai kepada mahasiswa-mahasiswanya dengan nilai C-. Pokoknya semua mudah-mudah saja asal kita juga mengikuti peraturan.


Tapi akhir-akhir ini, saya jadi berpikir. Apa ini yang namanya kuliah? Kok kelihatan nggak intelek banget. Terkadang saya merasa bersalah juga sudah mengecap pendidikan disini. Saya sudah menyisihkan 500 calon mahasiswa lain untuk mendapatkan kursi di kampus ini. Saya telah memupuskan harapan dan impian mereka. Dan mungkin saja, itu adalah satu-satunya harapan mereka dan mereka berharap banyak darinya. Tidak hanya mereka yang mendaftar tapi juga para orang tua dan orang-orang di belakang mereka yang segenap hati men-supportmereka. Terkadang, saya merasa tidak pantas menyandang gelar sebagai mahasiswa STAN. Saya menyadari bahwa saya bisa kuliah gratis disini karena rakyat yang membiayai. Saya takut jika nanti saya lulus, saya tidak bisa menjadi seperti apa yang mereka harapkan. Saya takut mengecewakan mereka. Saya sadar, ketika saya memutuskan untuk kuliah disini, saya membawa tanggung jawab moral yang sangat besar. Konsekuensi yang harus saya bayar dari keputusan pilihan saya. Terlebih lagi tanggung jawab terhadap Tuhan. Tapi saya terlalu egois untuk melaksanakannya. Saya terlalu naïf untuk mengakui bahwa saya berada disini dengan mengorbankan 500 orang lain di luar sana. Saya menutup mata bahwa Tuhan menghendaki saya disini agar saya dapat melakukan suatu perbaikan. Bukan malah menambah kebobrokan citra kampus. Saya sering mendengar keluhan dari para lulusan STAN tentang ketidaksesuaian ilmu yang mereka dapat selama di kampus dengan aplikasinya di kantor tempat mereka bekerja. Saya sungguh menyayangkan hal ini justru terucap dari mulut mereka sendiri yang notabene adalah para alumni STAN. Ini justru melemahkan mereka-mereka yang masih duduk di bangku kuliah. Mereka sudah tercetak dengan pola pikir bahwa mereka belajar 3 tahun adalah untuk suatu kesia-siaan. Ini menjadikan mereka berprilaku seenaknya ketika mengikuti perkuliahan di kampus. Yang penting lulus. Entah ilmu itu menempel atau tidak itu urusan nanti. Tapi memang, saya juga tidak mengecilkan mereka (baca: mahasiswa) yang mencoba bersikap idealis dengan benar-benar fokus pada pelajaran. Tapi orang-orang seperti itu hanya segelintir saja. Bagai buih di lautan. Atau pasir di gurun. Sungguh mengenaskan.


Jadi saya berpikir, ketika hal-hal seperti ini dibiarkan terjadi dan tidak ada yang bertindak, maka dimanakah pertanggungjawaban kita? Seenaknya kita menggunakan uang rakyat hanya untuk mencetak manusia-manusia yang tidak memihak kepada rakyat. Maka tak heran jika nantinya STAN hanya akan mencetak manusia-manusia yang bermoral rendah yang dengan tega merampok uang rakyat dengan dalih kekuasaan. Padahal mereka sama-sama tahu bahwa mereka dibiayai oleh rakyat. Jadi, sudah semestnya segala tindak-tanduk mereka merefleksikan apa-apa yang diinginkan oleh rakyat. Kalau begini sih sama saja seperti air susu dibalas dengan air tuba. Mending uang itu dikembalikan lagi kepada rakyat atau disubsidi kepada rakyat kecil yang jelas-jelas membutuhkannya. Setidaknya itu mengurangi rasa bersalah kita terhadap rakyat dan kepada Tuhan. Masa sih kita nggak mampu membayar lebih untuk sesuatu yang jelas-jelas kita mengambil manfaat yang besar darinya? Tapi memang ya, saya merasa sesuatu itu dianggap tidak berharga saat kita tidak berkorban apa-apa untuknya. Rasa memiliki dan menghargainya itu tidak ada saat sesuatu itu didapat secara gratis atau cuma-cuma. Kalau begini, Ibu Pertiwi bisa menyesal melahirkan pewaris-pewaris negerinya. Jadi daripada hal ini dibiarkan saja dan menanggung dosa yang beranak pinak, saya mulai berpikir, bagaimana jika STAN dibubarkan saja?

No comments:

Post a Comment

Komentar ajah...